TEORI
BELAJAR
A.
TEORI
LATIHAN MENTAL
Aliran ini
berkembang sampai dengan abad 20, yang mengemukakan bahwa struktur otak manusia
terdiri atas gumpalan-gumpalan otot.
Agar ini kuat, maka harus dilatih dengan beban, makin banyak latihan dan
beban yang makin berat,maka otot atau otak itu makin kuat pula, oleh karena itu
jika anak atau siswa ingin pandai, maka ia harus dilatih otaknya dengan cara
banyak berlatih memahami dan mengerjakan soal-soal yang benar, makin sukar
materi itu makin pandai pula anak tersebut.
Struktur
kurikulum pada masa itu berisikan materi-materi pelajaran yang sulit, sehingga
orang sedikit yang bersekolah karena tidak kuat untuk mengikutinya. Disamping
faktor lain seperti keturunan, biaya, dan kesadaran akan pentingya sekolah.
B.
TEORI
ALIRAN TINGKAH LAKU
1.
Teori
Thorndike
Teori belajar ini disebut juga
koneksionisme yang mengatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau
hukum belajar meliputi:
a.
Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya,
jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
b.
Hukum Latihan (Law of exercise) menyatakan
bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan
semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan,
maka makin lemah hubungan yang terjadi. Prinsip utama belajar adalah
pengulangan, makin sering suatu konsep matematika diulangi, maka semakin
dikuasailah konsep matematika tersebut.
c.
Hukum Akibat (Law of Effect) menjelaskan bahwa
hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Aplikasinya
dalam pembelajaran matematika meliputi:
a)
Guru harus tahu apa yang akan diajarkan,
materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan, kapan harus
memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan pendidikan harus
dirumuskan dengan jelas.
b)
Tujuan pendidikan masih dalam batas
kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa
sehingga guru dapat menerapkan bermacam-macam situasi.
c)
Agar peserta didik dapat mengikuti
pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks.
d)
Dalam belajar motivasi tidak begitu
penting karena yang terpenting adalah adanya respon yang benar terhadap
stimulus.
e)
Peserta didik yang telah belajar dengan
baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus segera diperbaiki.
f)
Situasi belajar harus dibuat
menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat.
g)
Materi pelajaran harus bermanfaat bagi
peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
h)
Pelajaran yang sulit, yang melebihi
kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.
Kelebihan dari Teori S-R dari Thorndike
yaitu dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan,
anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan
adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki
kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Kekurangan dari Teori S-R dari Thorndike yaitu kegiatan yang terlalu sering
dilakukan, akan membuat anak didik merasa jenuh yang mungkin saja dapat
mengakibatkan dia merasa enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya
sistem pemberian hadiah akan membuat ketergantungan pada anak didik dalam
melakukan sebuah kegiatan.
2.
Teori
Paplov
Dari eksperimen yang
dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar,
diantaranya :
·
Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika
dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi
sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
·
Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika
refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan
menurun.
3. Teori Baruda
Baruda
mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru di sini
bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain,
terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan
menggunakan hahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan
dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang
dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi
manusia model yang profesional.
4.
Teori
Skinner
Teori
pembelajaran Skinner termasuk behaviorisme, dimana perilaku individu pembelajar
sangat diperhatikan. Belajar menurut Skinner adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati dan sifatnya tetap. Unsur terpenting dalam belajar terletak pada
penguatan stimulus dan adanya ganjaran terhadap perilaku individu yang
diberikan stimulus. Maksudnya, pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan
stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Ganjaran merupakan
respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan perilaku yang bersifat
subjektif. Sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan peningkatan
kemungkinan suatu respon serta bersifat dapat diamati dan diukur. Dalam
pandangan Skinner, komponen-komponen penting dalam pembelajaran matematika
meliputi:
a) Tujuan
yang dinyatakan sebagai bentuk dari tingkah laku pembelajar.
b) Tugas
dibagi dalam ketrampilan-ketrampilan yang menjadi prasyarat bagi keterampilan
yang lain.
c) Penentuan
hubungan antara ketrampilam prasyarat dan urutan logis dari materi yang akan
dipelajari.
d) Perencanaan
materi dan prosedur mengajar untuk setiap tugas bagian.
e) Pemberian
balikan kepada peserta didik setelah peserta didik selesai melaksanakan
tugas-tugas bagian yang mendukung pencapain tujuan-tujuan tadi.
5. Teori Ausubel
Teoriiniter
kenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar
dimulai. Ausubel membedakan antara belajar menemukan dan belajar menerima.
Dalam belajar menerima siswa hanya menerima dan tinggal meghapalkan materi.
Sedangkan pada belajar menemukan, siswa tidak menerima pelajaran begitu saja,
tetapi konsep ditemukan oleh siswa
C.
TEORI
PSIKOLOGI KOGNITIF
1. Teori Piaget
Piaget merupakan salah
seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan
sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori
tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan
kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre
operational; (3) concrete operational dan (4) formal
operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi
pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005)
menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes
material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence
of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the
difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation” Dikemukakannya
pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan
eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman
sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak
memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan
secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi
teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir
anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan
menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar
lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu
anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus
dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar
anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas,
anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan
teman-temanya.
2.
Teori
Vygotsky
Tokoh
kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky
adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari
pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori
Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing
individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi
saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas-
tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone
of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan
dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih mampu.
Teori
Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah
memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap
awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk
lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky
menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting
kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling
memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing –
masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar
Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan
model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif
terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara
siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.
3. Teori Brunner
Teori
ini pada dasarnya mengklasifikasikan adanya lima kategori dalam belajar, diantaranya:
1) informasi verbal, 2) keterampilan intelektual, 3) keterampilan motorik, 4)
sikap, dan 5) strategi kognitif. Aplikasi Teori Belajar Gagne dalam Pembelajaran
Matematika meliputi: Obyek langsung yang meliputi fakta, operasi, konsep dan
prinsip. Obyek tak langsung yang meliputi kemampuan menyelidiki, memecahkan
masalah, disiplin diri, bersikap positif dan tahu bagaimana semestinya belajar.
Gagne
membedakan delapan tipe belajar yang menurut kesukarannya dari yang sederhana
sampai kompleks sebagai berikut :
a) Belajar
isyarat (signal learning); belajar sesuatu tanpa disengaja, tapi hanya sebagai
akibat dari adanya rangsangan disekitarnya. Misalnya sikap senang dalam belajar
matematika karena guru yang mengajar sangat menyenangkan.
b) Belajar
stimulus respon (stimulus respon learning); belajar sebagai suatu proses yang
sengaja diciptakan tetapi masih bersifat jasmaniah. Misalnya melukis beberapa
bentuk segitiga setelah guru menjelaskannya.
c) Rangkaian gerak (motor chaining); belajar
sebagai kegiatan jasmaniah terurut dari dua atau lebih rangsangan. Misalnya
ketika siswa ingin melukis suatu garis.
d) Rangkaian
verbal (verbal chaining); belajar sebagai kegiatan mental terurut berdasarkan
dua atau lebih rangsangan. Misalnya ketika siswa belajar tentang perkalian
bilangan rasional.
e) Belajar
membedakan (different learning); belajar memisahkan rangkaian-rangkaian yang
bervariasi. Misalnya siswa dalam membedakan lambang yang digunakan dalam
matematika.
f) Belajar
konsep (konsep learning); belajar pengelompkan dimana sisiwa belajar mengenal
sifat-sifat yang sama dari suatu benda atau peristiwa. Misalnya dalam memahami
konsep lingkaran.
g) Belajar
aturan (rule learning); belajar tentang aturan-aturan atau hukum yang berlaku
dalam matematika. Misalnya hukum yang berlaku pada operasi bilangan bulat.
h) Pemecahan
masalah (problem solving); belajar melalui masalah baru yang baru dikenalnya
saat itu dan belum mempunyai prosedur penyelesaiannya, tetapi telah memiliki
prasyarat. Misalnya pemecahan masalah dalam soal olimpiade matematika.
4.
Teori
Gagne
Menurut
Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoieh siswa, yaitu
objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak Iangsung antara lain kemampuan
rnenyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap
matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung
berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan. Menurut Gagne, belajar dapat
dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus espon,
rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembntukan konsep, pembentukan
aturan, dan pemecahan masalah. Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut taraf
kesukarannya dari belajar isyarat sampai ke belajar pemecahan masalah.
5. Teori Gesalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia
mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan
oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
a)
Penyajian konsep harus lebih
mengutamakan pengertian,
b)
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa ,dan
c)
Mengatur suasana kelas agar siswa siap
belajar
6. Teori Brownell
W. Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika
harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia juga menegaskan
bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna.
7. Teori Van Hiele
Teori
van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van
Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan
memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet
dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri
berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan
perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika
Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an.
Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus
meningkat.
Beberapa penelitian
yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van
Hiele
memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157)
menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van Hiele
dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan.
Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian
geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (1983:67)
berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van Hiele
adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa
menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai
dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77) menyimpulkan bahwa
pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif
daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan
bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir
siswa
Tingkat Berpikir van Hiele
Teori
van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre
Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir
siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui
lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap
perkembangan berpikir van Hiele adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1
(analisis), tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).
Tahap berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut.
I.
Tahap 0 (Visualisasi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar,
tahap rekognisi, tahap holistik, tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal
bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan
penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek
yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada
tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan
karakteristik bangun yang ditunjukkan.
II.
Tahap 1 (Analisis)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap
deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan
sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan
melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model.
Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara
sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun
geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.
III.
Tahap 2 (Deduksi Informal)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap
abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer,
Argyropoulos dan Orton menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap
ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri
dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat definisi
abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi
informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun
demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk
membangun geometri.
IV.
Tahap 3 (Deduksi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap
deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya sekedar
menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada
tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara.
Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari
perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
V.
Tahap 4 (Rigor)
Clements & Battista juga menyebut
tahap ini dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut
dengan tahap aksiomatik. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam
sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma
dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan,
aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.Teori van Hiele
mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan
sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih
bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan
sistem relasi sendiri-sendiri. Burger dan Culpepper juga menyatakan bahwa
setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan
sendiri-sendiri.
Clements & Battista menyatakan bahwa
teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang
tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2)
tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami
secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap
berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri.
Crowley menyatakan bahwa teori van Hiele
mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui
tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni Akeberhasilan dari
tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran
daripada oleh usia; (3) intrinsik dan kestrinsik, yakni obyek yang masih kurang
jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni
masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5)
mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran
berada pada tahap yang berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan
pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi
daripada tahap berpikir siswa.
Setiap tahap dalam teori van Hiele,
menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan
pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak
ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses
berpikir yang digunakan. Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa
secara berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan
matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke
tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran
daripada umur dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menyediakan
pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa