Followers

Rabu, 24 Oktober 2012

teori belajar matematika - tugas semester 1


TEORI BELAJAR

A.    TEORI LATIHAN MENTAL
Aliran ini berkembang sampai dengan abad 20, yang mengemukakan bahwa struktur otak manusia terdiri atas gumpalan-gumpalan otot.  Agar ini kuat, maka harus dilatih dengan beban, makin banyak latihan dan beban yang makin berat,maka otot atau otak itu makin kuat pula, oleh karena itu jika anak atau siswa ingin pandai, maka ia harus dilatih otaknya dengan cara banyak berlatih memahami dan mengerjakan soal-soal yang benar, makin sukar materi itu makin pandai pula anak tersebut.
            Struktur kurikulum pada masa itu berisikan materi-materi pelajaran yang sulit, sehingga orang sedikit yang bersekolah karena tidak kuat untuk mengikutinya. Disamping faktor lain seperti keturunan, biaya, dan kesadaran akan pentingya sekolah.

B.     TEORI ALIRAN TINGKAH LAKU
1.      Teori Thorndike
Teori belajar ini disebut juga koneksionisme yang mengatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum belajar meliputi:
a.       Hukum Kesiapan (Law of Readiness) menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan suatu kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
b.       Hukum Latihan (Law of exercise) menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi, akibatnya hubungan akan semakin kuat, sedangkan makin jarang hubungan stimulus-respon dipergunakan, maka makin lemah hubungan yang terjadi. Prinsip utama belajar adalah pengulangan, makin sering suatu konsep matematika diulangi, maka semakin dikuasailah konsep matematika tersebut.
c.        Hukum Akibat (Law of Effect) menjelaskan bahwa hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Aplikasinya dalam pembelajaran matematika meliputi:
a)      Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
b)      Tujuan pendidikan masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik. Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan bermacam-macam situasi.
c)      Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
d)     Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting adalah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
e)      Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan bila belum baik harus segera diperbaiki.
f)       Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat.
g)      Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
h)      Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.
     Kelebihan dari Teori S-R dari Thorndike yaitu dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
Kekurangan dari Teori S-R dari Thorndike yaitu kegiatan yang terlalu sering dilakukan, akan membuat anak didik merasa jenuh yang mungkin saja dapat mengakibatkan dia merasa enggan untuk mencobanya lagi. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah akan membuat ketergantungan pada anak didik dalam melakukan sebuah kegiatan.
2.      Teori Paplov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
·         Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
·         Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3.      Teori Baruda
Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru di sini bukan berarti menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan hahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang profesional.
4.      Teori Skinner
Teori pembelajaran Skinner termasuk behaviorisme, dimana perilaku individu pembelajar sangat diperhatikan. Belajar menurut Skinner adalah perubahan perilaku yang dapat diamati dan sifatnya tetap. Unsur terpenting dalam belajar terletak pada penguatan stimulus dan adanya ganjaran terhadap perilaku individu yang diberikan stimulus. Maksudnya, pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan perilaku yang bersifat subjektif. Sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan peningkatan kemungkinan suatu respon serta bersifat dapat diamati dan diukur. Dalam pandangan Skinner, komponen-komponen penting dalam pembelajaran matematika meliputi:

a)      Tujuan yang dinyatakan sebagai bentuk dari tingkah laku pembelajar.
b)      Tugas dibagi dalam ketrampilan-ketrampilan yang menjadi prasyarat bagi keterampilan yang lain.
c)      Penentuan hubungan antara ketrampilam prasyarat dan urutan logis dari materi yang akan dipelajari.
d)     Perencanaan materi dan prosedur mengajar untuk setiap tugas bagian.
e)      Pemberian balikan kepada peserta didik setelah peserta didik selesai melaksanakan tugas-tugas bagian yang mendukung pencapain tujuan-tujuan tadi.
5.      Teori Ausubel
      Teoriiniter kenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ausubel membedakan antara belajar menemukan dan belajar menerima. Dalam belajar menerima siswa hanya menerima dan tinggal meghapalkan materi. Sedangkan pada belajar menemukan, siswa tidak menerima pelajaran begitu saja, tetapi konsep ditemukan oleh siswa

C.    TEORI PSIKOLOGI KOGNITIF
1.      Teori Piaget
      Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational.
      Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation” Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1.      Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.      Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2.      Teori Vygotsky
Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing  individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri  dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.

Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap – tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing – masing zone of proximal development  mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.
3.      Teori Brunner
Teori ini pada dasarnya mengklasifikasikan adanya lima kategori dalam belajar, diantaranya: 1) informasi verbal, 2) keterampilan intelektual, 3) keterampilan motorik, 4) sikap, dan 5) strategi kognitif. Aplikasi Teori Belajar Gagne dalam Pembelajaran Matematika meliputi: Obyek langsung yang meliputi fakta, operasi, konsep dan prinsip. Obyek tak langsung yang meliputi kemampuan menyelidiki, memecahkan masalah, disiplin diri, bersikap positif dan tahu bagaimana semestinya belajar.
Gagne membedakan delapan tipe belajar yang menurut kesukarannya dari yang sederhana sampai kompleks sebagai berikut :
a)      Belajar isyarat (signal learning); belajar sesuatu tanpa disengaja, tapi hanya sebagai akibat dari adanya rangsangan disekitarnya. Misalnya sikap senang dalam belajar matematika karena guru yang mengajar sangat menyenangkan.
b)      Belajar stimulus respon (stimulus respon learning); belajar sebagai suatu proses yang sengaja diciptakan tetapi masih bersifat jasmaniah. Misalnya melukis beberapa bentuk segitiga setelah guru menjelaskannya.
c)       Rangkaian gerak (motor chaining); belajar sebagai kegiatan jasmaniah terurut dari dua atau lebih rangsangan. Misalnya ketika siswa ingin melukis suatu garis.
d)     Rangkaian verbal (verbal chaining); belajar sebagai kegiatan mental terurut berdasarkan dua atau lebih rangsangan. Misalnya ketika siswa belajar tentang perkalian bilangan rasional.
e)      Belajar membedakan (different learning); belajar memisahkan rangkaian-rangkaian yang bervariasi. Misalnya siswa dalam membedakan lambang yang digunakan dalam matematika.
f)       Belajar konsep (konsep learning); belajar pengelompkan dimana sisiwa belajar mengenal sifat-sifat yang sama dari suatu benda atau peristiwa. Misalnya dalam memahami konsep lingkaran.
g)      Belajar aturan (rule learning); belajar tentang aturan-aturan atau hukum yang berlaku dalam matematika. Misalnya hukum yang berlaku pada operasi bilangan bulat.
h)      Pemecahan masalah (problem solving); belajar melalui masalah baru yang baru dikenalnya saat itu dan belum mempunyai prosedur penyelesaiannya, tetapi telah memiliki prasyarat. Misalnya pemecahan masalah dalam soal olimpiade matematika.
4.      Teori Gagne
Menurut Gagne, dalam belajar matematika ada dua objek yang dapat diperoieh siswa, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek tak Iangsung antara lain kemampuan rnenyelidiki dan memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, dan tahu bagaimana semestinya belajar. Sedangkan objek langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan aturan. Menurut Gagne, belajar dapat dikelompokkan menjadi 8 tipe belajar, yaitu belajar isyarat, stimulus espon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembntukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah. Kedelapan tipe belajar itu terurut menurut taraf kesukarannya dari belajar isyarat sampai ke belajar pemecahan masalah.
5.      Teori Gesalt
      Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
a)      Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian,
b)      Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa ,dan
c)      Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar
6.      Teori Brownell
W. Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian. Dia juga menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna.
7.      Teori Van Hiele
      Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele. Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum karena pengaruh teori van Hiele. Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an. Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus meningkat.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori van
Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango (1993:157) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang memuaskan. Senk (1989:318) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry (1983:67) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986:47) melaporkan bahwa siswa menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989:77) menyimpulkan bahwa pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif daripada pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001:165) menyatakan bahwa penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa
Tingkat Berpikir van Hiele
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof, menjelaskan perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri. Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri. Kelima tahap perkembangan berpikir van Hiele adalah tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (deduksi informal), tahap 3 (deduksi), dan tahap 4 (rigor).
Tahap berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut.
                                           I.            Tahap 0 (Visualisasi)
      Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap holistik, tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakteristik visual dan penampakannya. Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat obyek yang diamati, tetapi memandang obyek sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.
                                        II.            Tahap 1 (Analisis)
      Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar dan membuat model. Meskipun demikian, siswa belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat-sifat tersebut, belum dapat melihat hubungan antara beberapa bangun geometri dan definisi tidak dapat dipahami oleh siswa.


                                     III.            Tahap 2 (Deduksi Informal)
      Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Hoffer, Argyropoulos dan Orton menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini, siswa sudah dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat definisi abstrak, menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan menggunakan deduksi informal, dan dapat mengklasifikasikan bangun-bangun secara hirarki. Meskipun demikian, siswa belum mengerti bahwa deduksi logis adalah metode untuk membangun geometri.
                                     IV.            Tahap 3 (Deduksi)
      Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada tahap ini siswa dapat menyususn bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti. Siswa dapat menyusun teorema dalam sistem aksiomatik. Pada tahap ini siswa berpeluang untuk mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Perbedaan antara pernyataan dan konversinya dapat dibuat dan siswa menyadari perlunya pembuktian melalui serangkaian penalaran deduktif.
                                        V.            Tahap 4 (Rigor)
      Clements & Battista juga menyebut tahap ini dengan tahap metamatematika, sedangkan Muser dan Burger menyebut dengan tahap aksiomatik. Pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma, definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri. Burger dan Culpepper juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.

      Clements & Battista menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat “lompatan” dalam kurva belajar seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara implisit pada suatu tahap akan dipahami secara ekplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri.
       Crowley menyatakan bahwa teori van Hiele mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni Akeberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) intrinsik dan kestrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.
      Setiap tahap dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan. Tahap-tahap berpikir van Hiele akan dilalui siswa secara berurutan. Dengan demikian siswa harus melewati suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan. Dengan demikian, guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan tahap berpikir siswa